Jumat, 04 Maret 2011

KALA ORGANISASI GURU TERPECAH

MAJALAH.KOMUNITAS
02/02/2009 - 13:22

oleh : Unifah Rosyidi
Menarik menyimak tulisan Tabrani Yunis, Direktur Center for Community Development and Education (CCDE), Banda Aceh, yang menyatakan bahwa PGRI tak lagi dapat dijadikan sebagai wadah saluran aspirasi lagi. Apalagi sejak dulu, PGRI tidak dipimpin oleh guru, tetapi oleh para pejabat dinas pendidikan yang memiliki kepentingan dan menggunaan PGRI sebagai kendaraan politik. Jadi, sangatlah tidak adil bila guru dilarang mencari organisasi guru alternatif untuk memperjuangkan hak dan nasib mereka (Kompas, 25/11/08). Bagi Tabrani, munculnya berbagai organisasi guru alternatif adalah positif karena akan menampung berbagai aspirasi guru yang selama ini tidak tersuarakan oleh PGRI. PGRI, dalam pandangan Tabrani, tak lebih dari produk rejim orde baru yang mempunyai gaya kepemimpinan lama, yang membebek pada pemerntah. Tabrani, misalnya, menyesalkan pernyataan Wapres Jusuf Kalla yang meminta guru-guru tetap bernanung di bawah PGRI. Jika organisasi guru terpecah-pecah, nasibnya seperti organsasi buruh.
Apa yang dinyatakan penulis, adalah sah-sah saja dan menjadi suatu refleksi bagi PGRI, meskipun sejujurnya pandangan tersebut terkesan partisan dan tidak mengikuti perkembangan yang ada. Tabrani tampaknya masih memandang PGRI dari kaca mata lama, sehingga apa yang dia lihat adalah, PGRI tak lebih dari kendaraan politik orang-orang tertentu, kurang tanggap, dan tak sanggup mengatasi problem guru.
Berubah
Mungkin ada benarnya, apa yang ditulis Tabrani jika melihat PGRI di masa orde baru. Tapi, perlu diketahui, sejak era reformasi muncul, 1997, PGRI telah banyak sekali berubah. PGRI menyadari berbagai kelemahan di masa lalu, karena itu, sejak tahun 1997 PGRI mereformasi diri sebagai organisasi profesi, ketenagakerjaan dan perjuangan yang bersifat unitaristik, independen, dan nonpolitik praktis. Pengalaman masa lalu menjadi pelajaran penting bagi PGRI untuk konsisten berjuang di jalur peningkatan profesional, kesejahteraan dan perlindungan profesi guru secara khusus, dan peningkatan mutu pendidikan secara umum. Struktur Organisasi PGRI juga telah tertata dari Pengurus Besar (Nasional), Provinsi, Kabupaten/Kota, Cabang hingga ranting. Struktur ini sudah mapan hingga di kecamatan-kecamatan, dan menjadi kekuatan bagi para guru dan tenaga kependidikan untuk berjuang mengangkat harkat dan martabat yang selama ini termarjinalkan.
Bagi PGRI, siapapun yang mengemban profesi sebagai guru mulai dari TK hingga PT tetaplah guru. Dan guru mempunyai tugas utama disamping mengajar adalah mendidik anak-anak bangsa bukan hanya agar cerdas dalam ilmu penegetahuan dan teknologi, tetapi menjadikannya sebagai manusia yang mempunyai kepribadian utuh dan terus berkembang. Menjadikannya anak-anak yang mempunyai karakter yang baik, atau dengan kata lain menjadikan manusia seutuhnya. Untuk itu, anggota PGRI beragam mulai dari guru TK hingga PT, baik negeri maupun swasta, guru umum maupun guru agama, juga anggota tenaga kependidikan lainnya seperti pengawas, dan pustakawan. Guru juga sudah semakin cerdas. Dalam catatan PGRI, misalnya, ketua-ketua PGRI yang pada masa lalu diisi kalangan birokrat saat ini jumlahnya sudah sangat kecil. Hampir semua pengurus PGRI sekarang didominasi guru. Pengurus Besar PGRI, misalnya, dipimpin seorang dosen perguruan tinggi swasta yang meniti karir secara berjenjang mulai dari guru SD.
Ilustrasi di atas sekadar menggambarkan wajah PGRI pascareformasi. Dan sejak reformasi, masalah-masalah guru yang dulu tersembunyi, mulai terkuak. Maraknya otonomi daerah, misalnya, menimbulkan problema baru yang sebelumnya tidak ada. Banyak guru menjadi korban politik kepentingan sesaat pilkada. Tunjangan profesi dan tunjangan kependidikan misalnya, juga terkendala oleh birokrasi daerah. Itu karena, nasib guru di daerah, tidak lagi ditentukan oleh Pusat, melainkan oleh bupati/wali kota di Daerah. Kepala Dinas Pendidikan, misalnya, dalam pandangan Daerah, tak lebih dari kepala-kepala dinas lainnya. Itulah sebabnya, tak sedikit kepala dinas pendidikan dijabat oleh mantan kepala dinas Tibum (Ketertiban Umum) atau kepala Dinas Pemakaman. Ini jelas sangat naïf karena dunia pendidikan di mana pun mempunyai ciri khas tersendiri, berbeda dengan lainnya. Dunia pendidikan mempunyai “tugas suci” (sacred mission) sebagai penanggung jawab masa depan manusia dan negara. Karenanya, PGRI berjuang keras untuk menyuarakan vitalnya pendidikan di suatu negara. Jika pendidikan terabaikan, masa depan negara akan suram
Kemajuan suatu negara berawal dari pembenahan sistem pendidikan yang menyeluruh. Kaisar Hirohito saat Jepang hancur dibom atom. Menanyakan, berapa guru yang masih tersisa – bukan berapa emas atau berlian yang tersisa. Ini karena guru adalah penyelamat bangsa. Dalam konteks inilah, misalnya, sejak awal PGRI berjuang terus untuk meningkatkan harkat dan martabat guru dan pendidikan nasional. Kenaikan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN pada tahun 2008, misalnya, merupakan buah perjuangan panjang PGRI setelah 3 tahun berturut-turut memenangkan gugatan kepada pemerintah melalui Mahkamah Konstitusi. Kemenangan ini adalah kemenangan guru dan kemenangan rakyat Indonesia yang menyadari betul betapa pentingnya pendidikan dalam memajukan bangsa dan Negara. Mitra PGRI di luar negeri, misalnya, sangat apresiatif terhadap keberhasilan menggolkan anggaran 20 persen tersebut, sehingga dalam perbagai pertemuan organisasi profesi guru tingkat internasional, PGRI sering diminta menjelaskan langkah-langkah perjuangannya sehingga mampu menekan pemerintah agar memenuhi tuntutan guru tersebut. Memang tuntutan anggaran 20 persen tersebut merupakan amanat UUD, namun tak mudah untuk memperjuangkannya. Dan semua rakyat Indonesia pasti mengetahui, betapa alotnya memperjuangkan anggaran 20 persen untuk pendidikan itu. Dalam kaitan itu pula dalam Kongres PGRI XVIII di Bandung, tahun 1998, PGRI menginisiasi pembentukan UU tentang Guru, yang kemudian berkembang menjadi UU Guru dan Dosen. Terlepas dari beberapa kelemahan UUGD yang dirintis PGRI itu, kini menjadi landasan yang kuat dalam mewujudkan guru profesional, sejahtera, dan bermartabat.
Tanpa mengenyampingkan peran organisasi guru alternatif seperti dikemukakan Tabrani, PGRI jelas mempunya sejarah dan modal awal yang besar dalam memperjuangkan guru. Jumah guru (negeri dan swasta) yang 2,7 juta, dengan kondisi lokasi, keuangan, dan sarana-prasarana lain yang sebagian besar masih di bawah standar kelayakan dunia pendidikan modern, menjadikan tugas PGRI dan organisasi keguruan alternatif amat besar. Belum lagi banyaknya problem sosial, ekonomi, hukum, dan lain-lain yang dialami para guru dalam tugasnya mendidik anak-anak bangsa. Bayangkan, saat ini, masih banyak guru swasta di daerah yang honornya hanya beberapa ribu rupiah, bahkan ada yang tak diberi honor sama sekali. Juga nasib guru di daerah terpencil yang gajinya datang terlambat tiga sampai enam bulan. Di pihak lain, Pusat yang memaksakan sekolah-sekolah mengikuti standar nasional, seperti ujian nasional dengan standar nilai tertentu, juga amat membingungkan guru-guru di daerah. Di pihak lain, Daerah yang ingin dipandang maju, memaksakan guru agar meluluskan anak-anak didiknya yang menempuh ujian akhir, padahal mereka tahu betul, kapasitas muridnya belum sampai ke sana karena kurangnya sarana dan pasarana pendidikan. Menghadapi kondisi tersebut, maka guru seperti memegang buah simalakama. Mengikuti kehendak Pusat, kehendak Daerah, atau hatinurani seoran guru yang ingin melihat siswanya pandai dan bermoral? Berbagai kasus hukum akhirnya menimpa guru-guru yang memilih mengikuti hati nurani di tengah pusaran kepentingan Daerah dan Pusat tersebut.
Dengan melihat fenomena di atas, rasanya tak terlalu salah jika Wapres MJK, mengajak semua guru membesarkan PGRI mengingat besarnya tantangan di depannya. Ini penting agar PGRI bisa berdiri kuat menyuarakan kepentingan guru di tengah pusaran kepentingan Daerah dan Pusat. Tanpa soliditas dan kekuatan tersebut, pendapat organisasi guru hanya dipandang sebelah mata oleh negara maupun birokrasi.
Jika kita kembali pada sejarah, pendirian PGRI 25 November 1945 di Solo, sebetulnya merupakan penggabungan dari organisasi-organisasi guru yang ada saat itu. Dengan melihat perjuangan guru yang amat besar ke depan, organisasi-organisasi itu sepakat meleburkan diri jadi PGRI, agar langkah organisasi guru lebih terkoordinasi dan efektif. Latar belakang inilah yang mestinya dilihat secara jernih dan cerdas. Jika pun selama rejim orde baru PGRI dikooptasi negara, pertanyaannya – adakah organisasi resmi saat itu yang terlepas dari kooptasi rejim? Ini bukan pembelaan, tapi fakta. Bahkan media massa pun saat itu tak berkutik karena dijerat peraturan dan undang-undang untuk mendukung rejim berkuasa.
Akhirnya, mengharapkan bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya membawa kita berjalan menelusuri lorong panjang sejarah yang menempatkan “pendidikan” sebagai kunci perubahan. Masa depan Indonesia akan dipertaruhkan dari bagaimana menyiapkan anak-anak bangsa dengan pendidikan yang bermutu, berakhlak, dan dapat dijangkau di mana saja anak berada, sehingga pada saatnya dapat melahirkan anak-anak Indonesia yang cerdas, berbudaya, berakhlak, pembelajar, kompetitif dan gemar dengan kualitas. Dengan demikian, melahirkan guru yang profesional, bermartabat dan sejahtera merupakan proses tali temali antara LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan), pemerintah, organisasi profesi, dan masyarakat. Dan itulah yang kini tengah diperjuangkan PGRI. Andai saja PGRI solid dan besar, maka perjuangan tersebut akan lebih efektif dan berdaya guna. Tapi jika organisasi guru pecah, kita pun ingat peribahasa: bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh!
Unifah Rosyidi, Ketua PB PGRI, Dosen UNJ.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar