Jumat, 04 Maret 2011

Guruku, Berhentilah Menghukum

SOSOK guru pada masa lampau lebih dikenal sebagai orang yang paling dihormati dan disegani di kalangan masyarakat. Lantaran guru dipercaya sebagai orang yang mampu mencerdaskan bangsa, tempat bertanya, serba bisa, dan teladan bagi masyarakat dalam segala hal. Kesederhanaan dan kebersahajaan yang tercermin dalam kehidupan seorang guru, menunjukkan bahwa guru termasuk orang yang nrima ing pandum) (menerima apa adanya). Imej masyarakat terhadap guru sejak dulu menempatkan sosok guru sebagai pribadi yang tidak suka neka-neka, selalu jujur, dan mengabdi dengan tulus demi masa depan putraputri bangsa. Namun masihkah imej masyarakat terhadap guru saat ini masih seperti dulu? Mengingat guru saat ini lebih dihadapkan pada problem yang sangat kompleks.
Berbagai media massa telah banyak mengekspos kasus yang selalu menimpa pahlawan tanpa tanda jasa ini. Kekerasan guru terhadap anak didik sering sekali muncul menghiasi media massa, pada ujungnya guru selalu dalam posisi terjepit. Padahal maksud guru memberi pelajaran terhadap siswa agar mengerti tanggung jawab, berdisiplin, mempunyai rasa hormat dan patuh pada peraturan.
Dalam rangka peringatan hari PGRI Ke-62 yang juga sebagai hari guru nasional inilah merupakan momen yang tepat untuk introspeksi, merenungkan kemudian mengambil langkah yang tepat dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi.
Stop punishment
Masih segar diingatan ketika guru dilaporkan kepada yang berwajib karena menghukum siswanya dengan menempeleng hingga mukanya memar. Bahkan pernah juga diberikan ada siswa yang disuruh lari hingga pingsan. Kasus tersebut seakan-akan menempatkan sosok guru yang menakutkan, kejam, dan suka menghukum.
Menurut penulis, perilaku menghukum siswa menandakan bahwa guru kurang profesional. Bahkan, menurunkan citra guru yang selama ini cukup disegani masyarakat.
Belajar dari pengalaman tersebut sudah seharusnya para guru menghentikan segala bentuk hukuman kepada anak didiknya.
Guru harus lebih sering memberi penghargaan (reward) sekecil apa pun usaha yang telah dilakukan oleh siswa dalam proses pembelajaran.
Seiring dengan berjalannya waktu, cara mengajar dengan membentakbentak, menggedor-gedor papan tulis ataupun memberi ancaman kepada siswa sudah bukan zamannya lagi.
Guru tidak boleh lupa bahwa tugas utamanya mendidik anak membentuk sikap, perilaku, dan mengasah pengetahuannya. Guru bukan sebagai ’’tukang mengajar’’ tetapi sebagai ’’disainer pembelajaran’.
Tugas tersebut akan berjalan sesuai harapan apabila anak dalam kondisi sehat, tenang, nyaman, tidak ketakutan dan dalam suasana yang menyenangkan. Semangat siswa akan bertambah jika guru sering memberi reward terhadap segala karyanya. Siswa akan lebih merasa diperhatikan dan dihargai.
Namun yang sering muncul di lapangan justru sebaliknya. Guru sering memuji anak yang pandai saja dan mencemooh anak yang bodoh.
Bahkan predikat anak nakal akan selalu menempel pada anak-anak yang tidak patuh dan selalu membikin onar sehingga anak-anak yang seperti ini sering mendapat hukuman (punishment).
Barangkali guru-guru yang masih suka mengancam dan memberikan hukuman sangat mengidolakan teori belajar koneksionisme-nya Thorndike. Menurut Thorndike, pemberian reward and punishment merupakan implikasi yang perlu diterapkan guru saat mengajar. Lantaran sebagai pengagum teori tersebut banyak guru yang menerapkan punishment, namun jarang memberikan reward.
Sekadar mengingatkan, reward bisa berupa penguatan baik verbal (berupa kata-kata/kalimat pujian) dan non-verbal (acungan jempol, perhatian, atau pun kejutan).
Penghargaan yang diberikan kepada siswa akan dapat memupuk rasa percaya diri, rasa hormat dan menghargai orang lain.
Sedangkan punishment dapat didefinisikan sebagai hukuman yang merupakan stimulus derita bagi anak baik fisik maupun mental. Sehingga siswa yang sering dihukum biasanya akan semakin membandel karena dalam dirinya terjadi pemberontakan. Anak tersebut merasa tidak dihargai, dikucilkan dan selalu salah dalam tingkah lakunya.
Hal ini akan semakin membahayakan jiwa anak apabila anak tersebut putus asa dan merasa rendah diri maka selamanya akan tenggelam dalam lumpur ketidakpercayaan.
Oleh karena itu sudah waktunya para guru untuk mengampanyekan stop punishment. Artinya menghentikan segala tindak hukuman yang dapat merugikan siswa secara fisik maupun mental. Apabila siswa melakukan suatu kesalahan lebih baik guru tidak memberi hukuman. Siswa akan tahu kesalahan dan akibatnya dengan jalan memberi kontribusi tingkah laku.
Kontribusi tingkah laku yang diberikan kepada siswa yang melakukan kesalahan misalnya siswa diberi tugas membaca di perpustakaan, membuat ringkasan, mengamati suatu peristiwa lalu membuat laporan atau membuat suatu karya yang dapat bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain. Dengan demikian siswa akan dapat menghargai dirinya menghargai orang lain, menyadari kesalahannya dan siswa akan lebih berkembang kearah, berpikir kritis, dinamis, kreatif dan memahami dirinya sendiri.
Tri pusat pendidikan 
Berbagai kasus yang telah mencoreng citra guru, hendaknya dijadikan sebagai pengalaman yang berharga. Agar hal-hal yang tidak diinginkan kembali terjadi hendaknya guru sangat berhati-hati dalam bertindak. Mengingat saat ini masyarakat semakin kritis dan pintar.
Guru tidak boleh melupakan konsep tri pusat pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan tidak bisa lepas dari sekolah, orang tua dan masyarakat.
Ketiganya harus berjalan seiring, sehingga jika masyarakat mengingatkan pihak sekolah, sekolah juga harus mau memperbaiki diri begitu juga jika orang tua menginginkan pelayanan yang baik dan mengingatkan sekolah apabila sekolah melakukan penyimpangan dalam mendidik putra-putrinya.
Untuk itu perlu adanya jalinan hubungan baik antara guru dengan guru, guru dengan siswa, guru dengan orang tua, guru dengan masyarakat dan guru dengan pemerintah.
Guru harus menyadari bahwa keberadaannya sebaai pelayan masyarakat, abdi negara, dan pengayom masyarakat. Untuk itu harus dapat memberikan pelayanan prima bagi masyarakat.
Jika dari masing-masing unsur saling berhubungan dengan baik, niscaya pendidikan di Indonesia akan berhasil. Komunikasi antarunsur pendidikan tidak akan terjadi saling menuduh dan saling menyalahkan.
Kasus yang menimpa guru yang terjadi selama ini karena adanya misscommunication antar stakeholders pendidikan. Masing-masing tidak menyadari kedudukannya sehingga tidak terjadi hubungan yang harmonis. Hal ini akan lebih parah jika ada pihak ketiga yang semakin memperkeruh suasana.
Beruntung selama ini ada PGRI yang memberikan perlindungan dan pembelaan kepada guru. Sehingga beberapa kasus dapat diselesaikan dengan baik. Perhatian PGRI terhadap nasib guru tetap diharapkan agar guru mendapatkan ketenangan, kenyamanan dan perlindungan dalam menjalankan tugasnya.
Semoga dengan peringatan Hari PGRI Ke-62 dan Hari Guru, pendidikan di Indonesia akan lebih maju. Dirgahayu PGRI, dirgahayu pada guru semoga semangatmu tidak lekang oleh waktu. hf
R Tantiningsih
Guru SDN Anjasmoro
Semarang



Tidak ada komentar:

Posting Komentar