Kamis, 03 Maret 2011

Derita Guru dalam Cengkeraman HAM


1209ratu1
Oleh : Masngut
Judul tulisan ini memang sengaja di buat bombastis. Namun substansi yang sebenarnya hanyalah ingin mendudukkan peran dan fungsi guru pada level yang sebenarnya, yang akhir-akhir ini dicerca oleh berbagai kalangan terkait dengan munculnya berbagai macam kasus tindak kekerasan yang terjadi pada dunia pendidikan. Dalam hal ini, guru kerap menjadi “pesakitan”. Dalam setiap tindak kekerasan yang muncul di dunia pendidikan, apakah itu terjadi antara guru dengan murid, seperti pemukulan, atau tindak kekerasan psikologis lainnya, maupun tindak kekerasan yang terjadi antara siswa dengan siswa. 
semisal tawuran antar pelajar, guru kerap menjadi obyek bidik yang selalu di “hukum” oleh opini media, sebagai obyek yang selalu salah dan dipersalahkan. Latar belakang peristiwa kekerasan itu sendiri, seringkali kabur dan dikaburkan.
Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pasal ini memberikan gambaran bahwa fungsi guru dalam sistem pendidikan nasional adalah sebagai pengajar sekaligus sebagai pendidik 
Dalam fungsinya sebagai pendidik, guru mengenal apa yang disebut sebagai alat pendidikan. Alat pendidikan dipergunakan agar dalam pembentukan kepribadian anak itu dapat berjalan dengan baik. Alat-alat pendidikan yang kita kenal di antaranya adalah contoh dan teladan; ancaman dan ganjaran; perintah dan larangan; serta hukuman.
Alat pendidikan berupa hukuman kadang-kadang memang terpaksa harus digunakan. Dalam kaitan ini, ada beberapa teori tentang hukuman yang dianut oleh beberapa ahli pendidikan. Rosseau memperkenalkan hukuman alam. Artinya, anak dihukum berdasarkan perbuatannya. Misalnya anak yang bermain api akan terbakar,  main pisau akan terluka, memanjat dia terjatuh, dan seterusnya. Hukuman alam ini bila dibiarkan akan berbahaya bagi si anak. Oleh sebab itu tidak banyak pendidik yang mempergunakan teori ini. Ada lagi teori menjerakan, yakni anak dihukum agar ia tidak mengulangi perbuatan. Contohnya, bila terlambat datang ke sekolah, ia tidak diperkenankan mengikuti jam pelajaran, tidak mengerjakan PR di jewer, belum melengkapi persyaratan administrasi dikeluarkan sementara dari kelasnya untuk ditanya dan diproses lebih lanjut dan lain-lain.
Seiring dengan perkembangan zaman yang sudah memasuki era reformasi, alat pendidikan yang berupa hukuman inilah yang seringkali dicermati oleh berbagai kalangan sebagai pelanggaran HAM, dan bahkan banyak orang tua siswa yang biasanya didampingi oleh “pemerhati pendidikan”, meng­adukan perilaku guru dengan alat pendidikannya itu ke ranah hukum pidana. Tidak menampik kenyataan, bahwa memang ada oknum guru yang menggunakan alat pendidikan berupa hukuman ini melebihi batas kewajaran, seperti menampar, menempeleng, memukul hingga menimbulkan bekas luka yang amat dalam, baik dari sudut pandang fisik maupun sudut pandang psikologis. 
Tetapi banyak juga kasus yang semestinya tidak perlu dibawa ke ranah hukum, tetapi oleh orang tua siswa dipaksakan untuk dibawa masuk di wilayah itu dengan tuduhan melanggar HAM, dan dengan bebagai macam tendensi. Hal inilah yang disadari atau tidak, akan memunculkan sikap apatis bagi guru untuk membiarkan apapun yang dilakukan siswa, mau nakal kek, mau berulah kek, mau mreman kek, silahkan saja, karena takut dengan opini penggiringan ke wilayah hukum di atas, dan yang lebih penting, daripada berurusan dengan polisi, lebih baik di cuekin aja, emangnya gua pikirin. 
Tidak adanya batasan yang jelas, mana yang melanggar HAM dan mana yang diperbolehkan oleh HAM dalam menggunakan alat pendidikan yang berupa hukuman ini, menambah sifat apatisme tersebut. Apalagi bila resiko yang dihadapi itu disandingkan dengan kesejahteraan dan gaji  yang mere­ka terima. Untuk guru-guru yang berstatus PNS dan sudah menerima tunjangan profesi, mungkin kesejahteraan itu berbading lurus dengan resiko yang dihadapi. Tetapi bagi guru-guru yang berstatus non PNS,  GTT, apalagi di sekolah/madrasah kecil, resiko proses hukum itu akan berbanding terbalik dengan penghasilan yang mereka terima, yang masih jauh di bawah upah minimum regional. Bergaji dibawah seratus ribu dalam satu bulan, harus berurusan dengan polisi. Lebih baik cari amannya saja, toh mereka anak orang lain. Inilah penekanan judul diatas, derita guru dalam cengkeraman HAM.
Terbatasinya hak guru dalam memberikan hukuman mendidik dalam jangka panjang dapat menyebabkan mundurnya kualitas pendidikan di Indonesia karena secara tidak langsung peran guru terbatasi hanya sebagai “pengajar” dan kehilangan perannya sebagai “pendidik”. Sementara itu, pendidikan sering dijadikan sebagai indikator dalam mengukur kemajuan suatu bangsa. Peranan pendidikan dalam proses pembangunan sumber daya manusia dan pembangunan secara keseluruhan telah diakui oleh semua bangsa beradab di dunia, bahkan faktor kunci dari keberhasilan negara maju adalah pendidikan. Oleh karena itulah, perlindungan hukum bagi guru menjadi sangat signifikan agar guru dapat menjalankan perannya tidak hanya sebagai pengajar tetapi juga sebagai pendidik. Hal ini sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2005 bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual, serta berhak memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas.
Siapa yang harus memulai untuk mendapatkan rasa aman dan jaminan hukum itu? Tentu guru itu sendiri yang harus memulai dan mereduksi kesadaran itu. Guru memiliki jumlah yang signifikan dan apabila di menej dengan bagus tentu akan memiliki nilai tawar yang tinggi. Namun sesekali teori ini tidak diperuntukkan bagi penjustifikasian setiap kekerasan dalam pendidikan, juga bukan untuk membenarkan pelanggaran HAM. Akan tetapi, batasan-batasan pelanggaran itu yang harus diperjelas, agar tugas keprofesionalan guru dapat terwujud. Semoga.

Penulis adalah pendidik di Tulungagung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar