Senin, 14 Maret 2011

Sejarah Sertifikasi Guru di Jepang

Sistem sertifikat mengajar dalam era pendidikan modern Jepang, telah dikembangkan sejak tahun 1886.  Sertifikat untuk guru SD hanya diberikan kepada guru lulusan sekolah umum, dan juga lolos ujian seleksi guru SD.  Lisensi terbagi dua, yaitu lisensi nasional yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Jepang, dan lisensi lokal yang hanya berlaku di level prefecture dan ditetapkan oleh Gubernur   Lisensi lokal ada dua jenis yaitu dengan masa berlaku 5 tahun dan masa berlaku tanpa batas.  Sedangkan lisensi nasional diberikan kepada lulusan Higher Normal School dan atau pemilik lisensi lokal yang telah mengajar selama lebih dari 5 tahun dan mempunyai skor kompetensi di atas standard. Tahun 1891, sertifikasi dikeluarkan oleh gubernur tanpa atau dengan tes kompetensi, sedangkan sertifikasi yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan tanpa disertai tes.  Tahun 1913, lisensi hanya dikeluarkan oleh Gubernur dan berlaku nasional. Istilah lisensi nasional dan lokal dihapuskan (http://www.mext.go.jp/b_menu/hakusho/html/hpbz198103/hpbz198103_2_101.html)
Guru-guru yang akan bertugas di Ordinary Normal School, Ordinary Middle School, dan Girl High School memperoleh sertifikat jika mereka lulus dari Higher Normal School dan lolos tes.  Jenis sertifikat ada empat, yaitu sertifikat kelas satu, kelas dua, kelas tiga dan non kelas.  Perubahan jenis sertifikat dapat terjadi berdasarkan masa mengajar.  Pada tahun 1892, pemberian sertifikat kepada guru pengajar ordinary normal school dibuat secara terpisah, dengan tetap mempertahankan sertifikat kelas satu dan kelas dua.  Sedangkan kelas tiga dan non kelas diberikan kepada asisten guru.  Pelaksanannya berlangsung dua tahap, yaitu tahap pertama secara otomatis pemilik gelar sarjana atau lulusan sekolah keguruan memperoleh sertifikat kelas satu, tanpa atau dengan  mengikuti ujian khusus untuk menjadi guru, sedangkan lulusan non sekolah keguruan atau kesarjanaan yang mengikuti ujian guru dan lolos akan memperoleh sertifikat kelas 2.  Sertifikat kelas 1 dapat diperoleh oleh pemilik sertifikat kelas 2 setelah mengajar lebih dari satu tahun. 
Tahun 1894 lahir peraturan sertifikasi baru yang menghapuskan kelas-kelas sertifikasi, tetapi memberikan lisensi mengajar kepada semua lulusan universitas umum dan universitas khusus wanita yang berkecimpung di bidang pendidikan keguruan.  Tahun 1896, hak memberikan sertifikasi guru diberikan sepenuhnya kepada rektor universitas.  Tahun 1899 sertifikat diberikan untuk lulusan universitas negeri maupun swasta, college, dan universitas asing. (http://www.mext.go.jp/b_menu/hakusho/html/hpbz198103/hpbz198103_2_105.html )
Tahun 1930, jumlah sekolah keguruan dibatasi hingga 6 buah dan 10 lainnya ditutup.  Untuk memenuhi kebutuhan guru-guru sekolah menengah, sertifikasi diberikan kepada lulusan Universitas Keguruan dan juga Sekolah Tinggi (http://www.mext.go.jp/b_menu/hakusho/html/hpbz198103/hpbz198103_2_129.html)
Tahun 1949, klasifikasi lisensi mengajar dibagi tiga yaitu, regular, temporary dan emergency.  Tipe regular ada dua jenis yaitu tipe 1 yang diberikan kepada lulusan pendidikan keguruan, dan tipe 2 diberikan kepada lulusan non kependidikan setelah mengikuti tes. (http://www.mext.go.jp/b_menu/hakusho/html/hpbz198103/hpbz198103_2_179.html)
Hingga tahun 1960, di setiap prefecture di Jepang telah diselenggarakan pusat pelatihan guru sains yang dibiayai oleh pemerintah pusat.  Pemerintah pun menyediakan dana bagi guru-guru bidang studi sejenis untuk mengadakan pelatihan atau diskusi kelompok secara mandiri di pusat-pusat belajar ini.  Pada tahun 1967, Pusat Pendidikan Nasional didirikan untuk memberikan kesempatan bagi para guru mengasah ketrampilan mendidik dan mengajar (http://www.mext.go.jp/b_menu/hakusho/html/hpbz198103/hpbz198103_2_202.html)
Sistem Sertifikasi Guru yang berlaku saat ini adalah hasil revisi panjang UU Sertifikasi tahun 1949.  Revisi telah dilakukan berturut-turut pada tahun 1953, 1954, 1973, 1988, dan 1998.  Berbagai polemik dalam revisi sistem sertifikasi guru dalam periode itu di antaranya : Kategori berdasarkan kelas-kelas memungkinkan munculnya ketidakharmonisan hubungan antar guru juga mempengaruhi tingkat kepercayaan orang tua dan siswa kepada guru, guru akan disibukkan dengan upaya mendapatkan sertifikat dan akan melalaikan tugas utamanya untuk mendidik siswa dan mengembangkan kemampuan pribadi, terdapat ketidakjelasan sistem sertifikasi yang dilimpahkan kepada universitas, kekuatan sertifikat yang dikeluarkan oleh universitas akan tak berarti jika pemerintah daerah dapat memberikan predikat guru kepada anggota masyarakat atau praktisi (Takakura, 1993).

Jumat, 04 Maret 2011

Guruku, Berhentilah Menghukum

SOSOK guru pada masa lampau lebih dikenal sebagai orang yang paling dihormati dan disegani di kalangan masyarakat. Lantaran guru dipercaya sebagai orang yang mampu mencerdaskan bangsa, tempat bertanya, serba bisa, dan teladan bagi masyarakat dalam segala hal. Kesederhanaan dan kebersahajaan yang tercermin dalam kehidupan seorang guru, menunjukkan bahwa guru termasuk orang yang nrima ing pandum) (menerima apa adanya). Imej masyarakat terhadap guru sejak dulu menempatkan sosok guru sebagai pribadi yang tidak suka neka-neka, selalu jujur, dan mengabdi dengan tulus demi masa depan putraputri bangsa. Namun masihkah imej masyarakat terhadap guru saat ini masih seperti dulu? Mengingat guru saat ini lebih dihadapkan pada problem yang sangat kompleks.
Berbagai media massa telah banyak mengekspos kasus yang selalu menimpa pahlawan tanpa tanda jasa ini. Kekerasan guru terhadap anak didik sering sekali muncul menghiasi media massa, pada ujungnya guru selalu dalam posisi terjepit. Padahal maksud guru memberi pelajaran terhadap siswa agar mengerti tanggung jawab, berdisiplin, mempunyai rasa hormat dan patuh pada peraturan.
Dalam rangka peringatan hari PGRI Ke-62 yang juga sebagai hari guru nasional inilah merupakan momen yang tepat untuk introspeksi, merenungkan kemudian mengambil langkah yang tepat dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi.
Stop punishment
Masih segar diingatan ketika guru dilaporkan kepada yang berwajib karena menghukum siswanya dengan menempeleng hingga mukanya memar. Bahkan pernah juga diberikan ada siswa yang disuruh lari hingga pingsan. Kasus tersebut seakan-akan menempatkan sosok guru yang menakutkan, kejam, dan suka menghukum.
Menurut penulis, perilaku menghukum siswa menandakan bahwa guru kurang profesional. Bahkan, menurunkan citra guru yang selama ini cukup disegani masyarakat.
Belajar dari pengalaman tersebut sudah seharusnya para guru menghentikan segala bentuk hukuman kepada anak didiknya.
Guru harus lebih sering memberi penghargaan (reward) sekecil apa pun usaha yang telah dilakukan oleh siswa dalam proses pembelajaran.
Seiring dengan berjalannya waktu, cara mengajar dengan membentakbentak, menggedor-gedor papan tulis ataupun memberi ancaman kepada siswa sudah bukan zamannya lagi.
Guru tidak boleh lupa bahwa tugas utamanya mendidik anak membentuk sikap, perilaku, dan mengasah pengetahuannya. Guru bukan sebagai ’’tukang mengajar’’ tetapi sebagai ’’disainer pembelajaran’.
Tugas tersebut akan berjalan sesuai harapan apabila anak dalam kondisi sehat, tenang, nyaman, tidak ketakutan dan dalam suasana yang menyenangkan. Semangat siswa akan bertambah jika guru sering memberi reward terhadap segala karyanya. Siswa akan lebih merasa diperhatikan dan dihargai.
Namun yang sering muncul di lapangan justru sebaliknya. Guru sering memuji anak yang pandai saja dan mencemooh anak yang bodoh.
Bahkan predikat anak nakal akan selalu menempel pada anak-anak yang tidak patuh dan selalu membikin onar sehingga anak-anak yang seperti ini sering mendapat hukuman (punishment).
Barangkali guru-guru yang masih suka mengancam dan memberikan hukuman sangat mengidolakan teori belajar koneksionisme-nya Thorndike. Menurut Thorndike, pemberian reward and punishment merupakan implikasi yang perlu diterapkan guru saat mengajar. Lantaran sebagai pengagum teori tersebut banyak guru yang menerapkan punishment, namun jarang memberikan reward.
Sekadar mengingatkan, reward bisa berupa penguatan baik verbal (berupa kata-kata/kalimat pujian) dan non-verbal (acungan jempol, perhatian, atau pun kejutan).
Penghargaan yang diberikan kepada siswa akan dapat memupuk rasa percaya diri, rasa hormat dan menghargai orang lain.
Sedangkan punishment dapat didefinisikan sebagai hukuman yang merupakan stimulus derita bagi anak baik fisik maupun mental. Sehingga siswa yang sering dihukum biasanya akan semakin membandel karena dalam dirinya terjadi pemberontakan. Anak tersebut merasa tidak dihargai, dikucilkan dan selalu salah dalam tingkah lakunya.
Hal ini akan semakin membahayakan jiwa anak apabila anak tersebut putus asa dan merasa rendah diri maka selamanya akan tenggelam dalam lumpur ketidakpercayaan.
Oleh karena itu sudah waktunya para guru untuk mengampanyekan stop punishment. Artinya menghentikan segala tindak hukuman yang dapat merugikan siswa secara fisik maupun mental. Apabila siswa melakukan suatu kesalahan lebih baik guru tidak memberi hukuman. Siswa akan tahu kesalahan dan akibatnya dengan jalan memberi kontribusi tingkah laku.
Kontribusi tingkah laku yang diberikan kepada siswa yang melakukan kesalahan misalnya siswa diberi tugas membaca di perpustakaan, membuat ringkasan, mengamati suatu peristiwa lalu membuat laporan atau membuat suatu karya yang dapat bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain. Dengan demikian siswa akan dapat menghargai dirinya menghargai orang lain, menyadari kesalahannya dan siswa akan lebih berkembang kearah, berpikir kritis, dinamis, kreatif dan memahami dirinya sendiri.
Tri pusat pendidikan 
Berbagai kasus yang telah mencoreng citra guru, hendaknya dijadikan sebagai pengalaman yang berharga. Agar hal-hal yang tidak diinginkan kembali terjadi hendaknya guru sangat berhati-hati dalam bertindak. Mengingat saat ini masyarakat semakin kritis dan pintar.
Guru tidak boleh melupakan konsep tri pusat pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan tidak bisa lepas dari sekolah, orang tua dan masyarakat.
Ketiganya harus berjalan seiring, sehingga jika masyarakat mengingatkan pihak sekolah, sekolah juga harus mau memperbaiki diri begitu juga jika orang tua menginginkan pelayanan yang baik dan mengingatkan sekolah apabila sekolah melakukan penyimpangan dalam mendidik putra-putrinya.
Untuk itu perlu adanya jalinan hubungan baik antara guru dengan guru, guru dengan siswa, guru dengan orang tua, guru dengan masyarakat dan guru dengan pemerintah.
Guru harus menyadari bahwa keberadaannya sebaai pelayan masyarakat, abdi negara, dan pengayom masyarakat. Untuk itu harus dapat memberikan pelayanan prima bagi masyarakat.
Jika dari masing-masing unsur saling berhubungan dengan baik, niscaya pendidikan di Indonesia akan berhasil. Komunikasi antarunsur pendidikan tidak akan terjadi saling menuduh dan saling menyalahkan.
Kasus yang menimpa guru yang terjadi selama ini karena adanya misscommunication antar stakeholders pendidikan. Masing-masing tidak menyadari kedudukannya sehingga tidak terjadi hubungan yang harmonis. Hal ini akan lebih parah jika ada pihak ketiga yang semakin memperkeruh suasana.
Beruntung selama ini ada PGRI yang memberikan perlindungan dan pembelaan kepada guru. Sehingga beberapa kasus dapat diselesaikan dengan baik. Perhatian PGRI terhadap nasib guru tetap diharapkan agar guru mendapatkan ketenangan, kenyamanan dan perlindungan dalam menjalankan tugasnya.
Semoga dengan peringatan Hari PGRI Ke-62 dan Hari Guru, pendidikan di Indonesia akan lebih maju. Dirgahayu PGRI, dirgahayu pada guru semoga semangatmu tidak lekang oleh waktu. hf
R Tantiningsih
Guru SDN Anjasmoro
Semarang



Guru Harus Melek Hukum

 

 
ADUAN SUARA: Kelompok paduan suara menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya pada pelatihan advokasi hukum bagi guru di Gedung Dharmais,Kelurahan Cimandala, Kecamatan Sukaraja, kemarin.
BOGOR–Minimnya pengetahuan guru tentang hukum,membuat mereka selalu menjadi sasaran empuk atas kesalahan yang dibuat tanpa kesengajaan. Hal itu pun seringkali menimbulkan tindakan pemerasan oleh pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan kelengahan guru.

Agar permasalahan tersebut bisa diatasi dengan baik, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Bogor memberikan pelatihan advokasi hukum bagi guru yang diselenggarakan di Gedung Dharmais,Kelurahan Cimandala,Kecamatan Sukaraja,kemarin.

Seluruh pengurus ranting kecamatan hadir dalam kegiatan yang baru pertama kali dilakukan PGRI tersebut. Turut hadir pula Sekretaris Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Bogor, Yusuf Sadeli, mewakili Kadisdik Didi Kurnia yang berhalangan hadir.

Dalam kegiatan ini, peserta diberikan materi berupa pengenalan singkat tentang teori hukum dan bagaimana cara menghadapi perkara yang membelitnya. Karena tidak semua kasus harus dilimpahkan ke meja hukum tanpa melalui proses mediasi terlebih dulu.

Ketua PGRI Kabupaten Bogor,Dadang Suntana mengatakan, selama ini masih ada ketidakpahaman mengenai guru. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, setiap guru memiliki hak dan kewajiban. Hal itu diperkuat kembali dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 Guru Harus Melek Hukum tentang Hak Guru. “Fungsi guru akan terlihat bila setiap harinya selalu melakukan peningkatan kompetensi,” ujarnya di hadapan peserta pelatihan, kemarin.

Ia menjelaskan, dalam menjalankan tugas profesinya, guru memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan, pembelaan dan advokasi. Bukan hanya itu,kode etik profesi masih kurang diperhatikan oleh guru, sehingga hal itu kerap membuat mereka terjerat pada perkara hukum.

Untuk itu, kata Dadang, sebelum dinyatakan terbukti melakukan perbuatan tindak pidana,terlebih dahulu guru bersangkutan harus menjalani sidang kode etik oleh Dewan Kehormatan. Apabila ditemukan pelanggaran berat, akan diberikan sanksi berupa pemecatan tidak hormat. Dan proses hukumnya diserahkan kepada pihak berwajib. “PGRI Pusat telah meminta kepada Polri,Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung (MA), agar meminta guru yang terkena kasus pidana menjalani sidang kode etik, sebelum proses hukumnya berlanjut,” paparnya.

Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) PGRI Kabupaten Bogor, Bukhori Muslim mengatakan, tujuan penyelenggaraan pelatihan ini agar Seksi Bagian (Sekbag) Hukum masing-masing ranting, memberikan advokasi kepada guru yang tersangkut perkara hukum dalam menjalankan tugasnya.

“Karena banyak rekan guru sering terlibat dalam hal yang mereka tak ketahui saat melaksanakan tanggung jawab profesinya sebagai guru,” jelasnya. (rur)


Ketika Guru tak Lagi Digugu

                    Ketika Guru Tak Lagi Digugu Guru serba salah. Terlalu lembut anak didik kurang ajar, ketika tegas dituding melanggar Hak Asasi Manusia.
Oleh Adhes Satria
 Sebut saja Khadijah (bukan nama asli), maksud hati ingin memberi efek jera terhadap siswanya yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dengan cara menjewer. Tapi, jeweran itu malah membuahkan tuntutan yang tak mengenakkan. Guru SD itu dituntut wali murid untuk membayar ganti rugi sebagai balasannya.
            Khadijah tentu saja menjadi panik. Apalagi ada ancaman dari orang tua murid untuk membeberkan masalah ke media, bahkan akan berlanjut ke kepolisian. Ibu guru itu sempat kelimpungan untuk mendapatkan uang senilai Rp 5 juta. Namun karena mendapat pembelaan dari rekan-rekan seprofesinya, tuntutan itu masih mengambang. Hingga berita ini diturunkan, belum ada perkembangan.
Perlakuan yang sama juga menimpa Ibu Siti (bukan  nama sebenarnya), guru SDN Depok kelas IV. Ia pernah didatangi wali murid dan dua orang preman bertubuh tinggi besar, gara-gara tidak menaikkan kelas anak didiknya. Ibu Siti bahkan sempat diancam wali murid untuk dilaporkan ke diknas sampai wartawan setempat, jika guru SD itu tak menaikkan anaknya.
“Saya merasa diteror, karena didatangi preman bawaan wali murid. Dan ini bukan sekali terjadi, guru sebelumnya pun mengalami hal yang sama, ditekan agar menaikkan kelas anaknya yang lemah dalam setiap mata pelajaran,” ujar Ibu Siti. 
Setelah mengadu ke Kepsek tempatnya mengajar, wali murid itu tetap saja menekan. Didiamkan, esoknya kembali didatangi lagi. Karena tekanan yang bertubi-tubi, Pak Kepsek pun terpaksa mengeluarkan kebijakan “Naik-Terbang”. Maksudnya, si anak akan dinaikkan, tapi dengan syarat harus pindah ke sekolah lain. Inilah bentuk tekanan wali murid, ketika guru tak lagi dihormati.  
Menurut pengamat pendidikan, Masroni A.Md, seiring dengan bergulirnya waktu, penghargaan terhadap guru sudah mulai menurun dan berkurang. Idealnya, guru harus dihormati, digugu, ditiru, dan dijadikan panutan. Kata-katanya didengar, nasihatnya dituruti. Tapi, harapan itu sulit ditemukan pada hari ini, di mana guru tidak lagi dihargai, dihormati, dan dijadikan panutan. Guru sudah kehilangan wibawa di mata peserta didik dan masyarakat. Sampai harus dilaporkan ke kepolisian.
            Kabarnya, para guru yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) akan membentuk tim advokasi untuk guru. Tujuannya agar guru didampingi kuasa hukum bila terjadi sesuatu yang memojokkan dirinya, mengingat guru kerap dalam posisi yang sangat lemah. Ketika dikonfirmasi Sabili, Ketua PGRI kecamatan Pancoran Mas, Samsuddin mengatakan, hal itu masih dalam proses.

Hasil Survei      
Ihwal jewer-menjewer atau tekanan terhadap guru hingga berbuat tuntutan, rupanya terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Di Surabaya, tepatnya 28 Mei lalu, Kepala Sekolah (Kepsek) SDN Ketabang IV, Drs Sunarto MM dilaporkan ke polisi oleh empat orang tua siswa kelas I. Jeweran kepsek itu dinilai terlalu kuat, sehingga ke-4 anak didiknya terluka. Di Sumatera Barat, pernah terjadi, seorang guru dikejar wali murid dengan menggunakan parang oleh anggota masyarakat yang marah karena anaknya dijewer sang guru di lingkungan sekolah. Anak tadi menangis kemudian mengadu kepada orang tuanya.
Di  Situbondo, kasus penjeweran juga dilakukan seorang Kepala Sekolah SDN III Kandang, Kecamatan Kapongan, Situbondo Jawa Timur terhadap siswinya yang duduk di bangku SD kelas VI. Sejumlah LSM setempat masih mempersoalkan sang guru yang menjewer karena anak didiknya tidak bisa mengeja huruf ABCD.
Di Maumere, (15/9) guru matematika di SMP Negeri 1 Waigete, Kabupaten Sikka, memukuli 60-an siswa kelas I dan II sekolah itu, dengan belahan bambu hingga luka memar. Ibu guru itu jengkel karena para siswa mengolok-oloknya dengan lontaran “SGM” (sinting, gila, miring).
Yang menarik, sebuah harian ibukota ternama di Jakarta telah  melakukan survei, selama Januari hingga April 2008. Hasil survei itu menjelaskan, jumlah kasus kekerasan terhadap anak berusia 0-18 tahun di Indonesia, terdata 95 kasus. Dari jumlah itu, persentase tertinggi, yaitu 39,6 persen diantaranya, dilakukan oleh guru. Tindakan yang sering dilakukan adalah kekerasan fisik seperti memukul. Korban terbanyak berasal dari siswa SD dan SMP.
Ketika ditemui di Depok, Ketua Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi alias Kak Seto, hukuman jewer tak dibenarkan dalam mendidik. Jika sampai terluka, bisa dilaporkan ke kepolisian, tapi sebaiknya diselesaikan secara damai dan kekeluargaan.

Menjadi Pelajaran
Bagi guru, menjewer mungkin merupakan bentuk hukuman yang dapat menimbulkan efek jera. Dengan mengikuti paradigma lama, jeweran itu diharapkan anak didik akan berubah.
Seorang guru SD yang mengajar di lingkungan lokalisasi, bercerita ihwal cara mendidik yang dianggapnya berhasil. Sang guru menyadari, di lingkungan lokalisasi sedikit banyak memberi pengaruh bagi perkembangan jiwa anak. Karena dipengaruhi oleh lingkungan tempat mereka tinggal, akhirnya anak-anak tersebut memiliki kebiasaan buruk, yaitu suka bicara jorok dan kotor dengan sesama temannya.
Kebiasaan ini terus berlanjut, mulai dari pergaulan sesama tetangga sampai dibawa ke sekolah. Melihat tingkah laku anak didiknya, sang guru merasa sangat cemas, disisi lain guru tersebut berpikir apabila dibiarkan, perilaku anak didiknya semakin susah untuk diperbaiki. Sang guru pun memeras otak dan mencari cara agar anak didiknya bisa berubah, tidak berbicara jorok dan kotor, baik di sekolah maupun dilingkungan rumah mereka.
Suatu hari, sang guru mendapat ide. Segera anak-anak didiknya dikumpulkan, kemudian guru itu berkata kepada anak didiknya: “Anak-anak, mulai hari ini kita akan memulai sebuah permainan, apakah kalian semua setuju?” Mendengar gurunya berkata permainan, maka semua anak sekolah serentak mengatakan setuju.
Guru itu melanjutkan, ”Mulai hari ini, kita bermain permainan kata-kata sopan, apabila di antara teman-teman kalian ada yang berbicara kotor, baik di sekolah ataupun di rumah, maka siapa pun di antara kalian yang mendengarnya, boleh mencubit atau menjewer teman kalian yang berbicara jorok itu. Apabila ada yang melawan, di antara kalian boleh mengadu ke Ibu,” ujar sang guru.
Karena para murid takut dijewer dan dicubit oleh temannya, maka secara bertahap mereka mulai memperbaiki kebiasaan jeleknya, akhirnya sang guru berhasil memperbaiki kebiasaan buruk para muridnya.
Dari kisah tersebut, bukan berarti, jeweran bagi anak boleh ditolerir sebagai pola didik. Apalagi di zaman sekarang, jeweran kerap diartikan lain sebagai bentuk penganiayaan. Kasus-kasus di atas setidaknya menjadi pelajaran bagi semua guru bahwa menjewer kini dilarang oleh undang-undang perlindungan anak. “Orang tua sekarang paradigmanya juga berubah. Jeweran orang tua saat ini dianggap sebagai aniaya bagi anaknya. Mengingat orang tua di rumah tidak pernah menjewer, sehingga jeweran terhadap anaknya dianggap sebagai tindakan kekerasan,” ujar Masroni yang juga praktisi pendidikan.
Berkaitan itu, lanjut Masroni, guru perlu tahu bahwa sekarang telah terjadi pergeseran paradigma mengajar. Dahulu, tindakan mencubit, menjewer, memukul, membentak merupakan sarana untuk membuat anak patuh, mengubah tindak, dan sikapnya. Sekarang, tindakan itu dimaknai sebagai sebuah kekerasan (bullying),” ujarnya.
Ketika ditanya, mana yang efektif, mendidik dengan cara kelembutan atau ketegasan? Menurut Masroni, mendidik itu seperti memegang seekor burung. Pendidikan, ada saatnya keras, ada saatnya lembut. Burung jika dipegang dengan keras akan mati, namun jika dengan lembut burung yang nakal akan lepas. Perlu dibentuk dewan guru di sekolah, kapan bisa menghukum dan kapan tidak. Intinya ada efek jera dalam pendidikan, agar anak didik tidak mengulang kesalahan untuk yang kesekian kalinya,”tukasnya. 
Terpenting, perbaiki hubungan antara orang tua dan guru. Terkadang orang tua sering melakukan pembelaan yang tidak pada tempatnya terhadap anaknya. Harus ada kesamaan langkah orang tua dan guru. Jika murid mendapat jeweran sedikit dari guru, semestinya orang tua tidak perlu melaporkan ke polisi. “Keras itu beda dengan tegas. Dalam dunia pendidikan, tegas yang proporsional itu sangat dibutuhkan. Kelembutan pun bukan berarti bebas dari sanksi hukuman dan ketegasan.”
Orang tua sekarang, lanjut Masroni, ingin anaknya beres. Kalau anak sukses, hasil didikan guru diabaikan, tapi kalau anaknya bermasalah guru dituding macam-macam. Dulu ketika guru menghukum murid yang nakal dengan cara berdiri dengan satu kaki plus menjewer kuping sendiri selama beberapa menit, orang tua tak ada yang feedback yang aneh-aneh.
Yang jelas, komunikasi guru dan orang tua murid perlu diperbaiki. Mereka harus bertukar pikiran (sharing), mencari solusi terbaik bagaimana mendidik, demi kebaikan setiap anak. Bukan dengan melaporkan ke polisi. Sepakati saja, hukuman mana yang tidak boleh dilakukan guru, seperti: hukuman dengan menjemur, berdiri atau berlutut di depan kelas, melempar penghapus atau penggaris, dijewer, menyentil, push up, dan membersihkan WC. Atau mengeluarkan kata-kata kasar, seperti bodoh, goblog, kurus, hitam, dan sebagainya
Untungnya guru di Indonesia tak sampai seperti terjadi di Texas, AS, yang membolehkan para guru membawa pistol saat mengajar di ruangan kelas, dikarenakan adanya tekanan dan teror dari anak didiknya sendiri. (Adhes Satria).

Perlindungan Profesi Guru, Ada dan Tiada

KabarIndonesia - Tanjungpinang, Guru memang mudah menjadi obyek berita. Profesi ini demikian lekat dengan publikasi yang biasanya negatif. Hasil kerja, tindak tanduk, bahkan kehidupan bertetangga guru pun mudah menjadi sorotan publik.

Jika guru melakukan kesalahan, biasanya dinas pendidikan langsung campur tangan. Namun, ketika guru menjadi korban, lebih sering PGRI yang turun tangan, sementara pihak dinas pendidikan lebih kerap memilih lepas tangan.

Contoh, kasus yang menimpa Mala, guru SDN 007 Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, misalnya. Tidak serta merta yang bersangkutan menerima perlindungan seperti  amanat UU Guru dan Dosen.

Memang, kejadian tersebut lebih dikarenakan masalah kehidupan sosial yang bersangkutan dan tidak terkait proses belajar mengajar. Kamis (28/2) yang  lalu, Mala menjadi korban pemukulan yang dilakukan oleh  Hr, tetangganya sendiri. 

Kepala Dinas Pendidikan Bintan Ismail, membenarkan adanya kejadian tersebut.  Namun katanya,  hal itu disebabkan kesalahpahaman. Bahkan berdasarkan laporan Kepala SDN 007 Gunung Kijang kepada Dinas Pendidikan,  tidak benar telah terjadi aksi pemukulan.  “Hanya perang mulut biasa,” ujar Ismail.

Kendati demikian, lanjut Ismail, pada dasarnya PGRI tetap berupaya melindungi dan membela guru. Namun, pembelaan yang dimaksud didudukkan  secara proporsional dengan tujuan untuk mencari penyelesaian yang terbaik. “Kemarin malam (Jumat, 29/2) sekitar pukul 21.00 WIB mereka sudah berdamai,” papar Ismail.

Hanya saja, Mala, guru bersangkutan, membantah keterangan Kepala Disdik Bintan. Dia berencana tetap menuntut secara proses hukum. “Saya tidak terima diperlakukan seperti itu. Apalagi saya juga difitnah. Coba kalau istri Bapak diperlakukan seperti saya, apa Bapak terima?” sergah Mala.

Menurut penuturannya, Kamis sore (28/2), dia sedang  memberikan les kepada sejumlah siswa MTs di kediamannya.  Tiba-tiba, Hr, tetangga sebelah rumah, masuk ke rumahnya sambil membanting pintu. 

Hr membentak-bentak. Anak-anak yang tengah mengikuti les pun ketakutan dan berhamburan keluar. 

Mala yang beranjak mendekati Hr dengan maksud hendak menanyakan duduk persoalan, malah Mala langsung dipukul. 
Awal kejadian ini karena adanya isu yang dilontarkan pihak ketiga. Kamis paginya,  terlibat perang mulut antara istri Hr dengan Mala. 

Tetangga tersebut menuding Mala telah memfitnah dirinya. Mala dituding sengaja mengajak Hr, suaminya, untuk tidur di rumah Mala di malam hari.

Tentu saja Mala keheranan. “Gila apa saya ngajak suami orang. Lagipula yang difitnah itu dia atau saya,” ucap Mala.

Kasus yang hampir serupa juga pernah dialami Rosmaneli, guru di SD Negeri 006 Tanjungpinang Kota di Kampung Madung, dua tahun silam. Rumah dinas guru yang ditempati Rosmaneli dirusak oleh Ay, tetangganya.  

Ay mencak-mencak dan memaki Rosmaneli sembari mengayunkan parang.  Ay menuding Rosmaneli telah mengacau rumah tangganya.  

Syukurlah, Rosmaneli dan anaknya yang masih berumur sekitar empat tahun,  berhasil keluar lewat jendela kamar mandi. Oleh warga, Rosmaneli diselamatkan ke pos polisi di Senggarang.

Kasus itu selesai dengan jalan damai, setelah kedua belah pihak menyadari ada pihak ketiga yang sengaja memperkeruh suasana. 

Ada lagi kejadian guru SMK Negeri 1 Tanjungpinang yang dikeroyok murid-muridnya lantaran tidak terima salah seorang rekannya ditampar oleh  sang guru. Bahkan, seorang anggota Dewan Kota Tanjungpinang dengan pongah mendatangi sekolah tersebut bermaksud mencari guru bersangkutan. Namun, kasus ini juga tidak pernah terekspos.





KALA ORGANISASI GURU TERPECAH

MAJALAH.KOMUNITAS
02/02/2009 - 13:22

oleh : Unifah Rosyidi
Menarik menyimak tulisan Tabrani Yunis, Direktur Center for Community Development and Education (CCDE), Banda Aceh, yang menyatakan bahwa PGRI tak lagi dapat dijadikan sebagai wadah saluran aspirasi lagi. Apalagi sejak dulu, PGRI tidak dipimpin oleh guru, tetapi oleh para pejabat dinas pendidikan yang memiliki kepentingan dan menggunaan PGRI sebagai kendaraan politik. Jadi, sangatlah tidak adil bila guru dilarang mencari organisasi guru alternatif untuk memperjuangkan hak dan nasib mereka (Kompas, 25/11/08). Bagi Tabrani, munculnya berbagai organisasi guru alternatif adalah positif karena akan menampung berbagai aspirasi guru yang selama ini tidak tersuarakan oleh PGRI. PGRI, dalam pandangan Tabrani, tak lebih dari produk rejim orde baru yang mempunyai gaya kepemimpinan lama, yang membebek pada pemerntah. Tabrani, misalnya, menyesalkan pernyataan Wapres Jusuf Kalla yang meminta guru-guru tetap bernanung di bawah PGRI. Jika organisasi guru terpecah-pecah, nasibnya seperti organsasi buruh.
Apa yang dinyatakan penulis, adalah sah-sah saja dan menjadi suatu refleksi bagi PGRI, meskipun sejujurnya pandangan tersebut terkesan partisan dan tidak mengikuti perkembangan yang ada. Tabrani tampaknya masih memandang PGRI dari kaca mata lama, sehingga apa yang dia lihat adalah, PGRI tak lebih dari kendaraan politik orang-orang tertentu, kurang tanggap, dan tak sanggup mengatasi problem guru.
Berubah
Mungkin ada benarnya, apa yang ditulis Tabrani jika melihat PGRI di masa orde baru. Tapi, perlu diketahui, sejak era reformasi muncul, 1997, PGRI telah banyak sekali berubah. PGRI menyadari berbagai kelemahan di masa lalu, karena itu, sejak tahun 1997 PGRI mereformasi diri sebagai organisasi profesi, ketenagakerjaan dan perjuangan yang bersifat unitaristik, independen, dan nonpolitik praktis. Pengalaman masa lalu menjadi pelajaran penting bagi PGRI untuk konsisten berjuang di jalur peningkatan profesional, kesejahteraan dan perlindungan profesi guru secara khusus, dan peningkatan mutu pendidikan secara umum. Struktur Organisasi PGRI juga telah tertata dari Pengurus Besar (Nasional), Provinsi, Kabupaten/Kota, Cabang hingga ranting. Struktur ini sudah mapan hingga di kecamatan-kecamatan, dan menjadi kekuatan bagi para guru dan tenaga kependidikan untuk berjuang mengangkat harkat dan martabat yang selama ini termarjinalkan.
Bagi PGRI, siapapun yang mengemban profesi sebagai guru mulai dari TK hingga PT tetaplah guru. Dan guru mempunyai tugas utama disamping mengajar adalah mendidik anak-anak bangsa bukan hanya agar cerdas dalam ilmu penegetahuan dan teknologi, tetapi menjadikannya sebagai manusia yang mempunyai kepribadian utuh dan terus berkembang. Menjadikannya anak-anak yang mempunyai karakter yang baik, atau dengan kata lain menjadikan manusia seutuhnya. Untuk itu, anggota PGRI beragam mulai dari guru TK hingga PT, baik negeri maupun swasta, guru umum maupun guru agama, juga anggota tenaga kependidikan lainnya seperti pengawas, dan pustakawan. Guru juga sudah semakin cerdas. Dalam catatan PGRI, misalnya, ketua-ketua PGRI yang pada masa lalu diisi kalangan birokrat saat ini jumlahnya sudah sangat kecil. Hampir semua pengurus PGRI sekarang didominasi guru. Pengurus Besar PGRI, misalnya, dipimpin seorang dosen perguruan tinggi swasta yang meniti karir secara berjenjang mulai dari guru SD.
Ilustrasi di atas sekadar menggambarkan wajah PGRI pascareformasi. Dan sejak reformasi, masalah-masalah guru yang dulu tersembunyi, mulai terkuak. Maraknya otonomi daerah, misalnya, menimbulkan problema baru yang sebelumnya tidak ada. Banyak guru menjadi korban politik kepentingan sesaat pilkada. Tunjangan profesi dan tunjangan kependidikan misalnya, juga terkendala oleh birokrasi daerah. Itu karena, nasib guru di daerah, tidak lagi ditentukan oleh Pusat, melainkan oleh bupati/wali kota di Daerah. Kepala Dinas Pendidikan, misalnya, dalam pandangan Daerah, tak lebih dari kepala-kepala dinas lainnya. Itulah sebabnya, tak sedikit kepala dinas pendidikan dijabat oleh mantan kepala dinas Tibum (Ketertiban Umum) atau kepala Dinas Pemakaman. Ini jelas sangat naïf karena dunia pendidikan di mana pun mempunyai ciri khas tersendiri, berbeda dengan lainnya. Dunia pendidikan mempunyai “tugas suci” (sacred mission) sebagai penanggung jawab masa depan manusia dan negara. Karenanya, PGRI berjuang keras untuk menyuarakan vitalnya pendidikan di suatu negara. Jika pendidikan terabaikan, masa depan negara akan suram
Kemajuan suatu negara berawal dari pembenahan sistem pendidikan yang menyeluruh. Kaisar Hirohito saat Jepang hancur dibom atom. Menanyakan, berapa guru yang masih tersisa – bukan berapa emas atau berlian yang tersisa. Ini karena guru adalah penyelamat bangsa. Dalam konteks inilah, misalnya, sejak awal PGRI berjuang terus untuk meningkatkan harkat dan martabat guru dan pendidikan nasional. Kenaikan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN pada tahun 2008, misalnya, merupakan buah perjuangan panjang PGRI setelah 3 tahun berturut-turut memenangkan gugatan kepada pemerintah melalui Mahkamah Konstitusi. Kemenangan ini adalah kemenangan guru dan kemenangan rakyat Indonesia yang menyadari betul betapa pentingnya pendidikan dalam memajukan bangsa dan Negara. Mitra PGRI di luar negeri, misalnya, sangat apresiatif terhadap keberhasilan menggolkan anggaran 20 persen tersebut, sehingga dalam perbagai pertemuan organisasi profesi guru tingkat internasional, PGRI sering diminta menjelaskan langkah-langkah perjuangannya sehingga mampu menekan pemerintah agar memenuhi tuntutan guru tersebut. Memang tuntutan anggaran 20 persen tersebut merupakan amanat UUD, namun tak mudah untuk memperjuangkannya. Dan semua rakyat Indonesia pasti mengetahui, betapa alotnya memperjuangkan anggaran 20 persen untuk pendidikan itu. Dalam kaitan itu pula dalam Kongres PGRI XVIII di Bandung, tahun 1998, PGRI menginisiasi pembentukan UU tentang Guru, yang kemudian berkembang menjadi UU Guru dan Dosen. Terlepas dari beberapa kelemahan UUGD yang dirintis PGRI itu, kini menjadi landasan yang kuat dalam mewujudkan guru profesional, sejahtera, dan bermartabat.
Tanpa mengenyampingkan peran organisasi guru alternatif seperti dikemukakan Tabrani, PGRI jelas mempunya sejarah dan modal awal yang besar dalam memperjuangkan guru. Jumah guru (negeri dan swasta) yang 2,7 juta, dengan kondisi lokasi, keuangan, dan sarana-prasarana lain yang sebagian besar masih di bawah standar kelayakan dunia pendidikan modern, menjadikan tugas PGRI dan organisasi keguruan alternatif amat besar. Belum lagi banyaknya problem sosial, ekonomi, hukum, dan lain-lain yang dialami para guru dalam tugasnya mendidik anak-anak bangsa. Bayangkan, saat ini, masih banyak guru swasta di daerah yang honornya hanya beberapa ribu rupiah, bahkan ada yang tak diberi honor sama sekali. Juga nasib guru di daerah terpencil yang gajinya datang terlambat tiga sampai enam bulan. Di pihak lain, Pusat yang memaksakan sekolah-sekolah mengikuti standar nasional, seperti ujian nasional dengan standar nilai tertentu, juga amat membingungkan guru-guru di daerah. Di pihak lain, Daerah yang ingin dipandang maju, memaksakan guru agar meluluskan anak-anak didiknya yang menempuh ujian akhir, padahal mereka tahu betul, kapasitas muridnya belum sampai ke sana karena kurangnya sarana dan pasarana pendidikan. Menghadapi kondisi tersebut, maka guru seperti memegang buah simalakama. Mengikuti kehendak Pusat, kehendak Daerah, atau hatinurani seoran guru yang ingin melihat siswanya pandai dan bermoral? Berbagai kasus hukum akhirnya menimpa guru-guru yang memilih mengikuti hati nurani di tengah pusaran kepentingan Daerah dan Pusat tersebut.
Dengan melihat fenomena di atas, rasanya tak terlalu salah jika Wapres MJK, mengajak semua guru membesarkan PGRI mengingat besarnya tantangan di depannya. Ini penting agar PGRI bisa berdiri kuat menyuarakan kepentingan guru di tengah pusaran kepentingan Daerah dan Pusat. Tanpa soliditas dan kekuatan tersebut, pendapat organisasi guru hanya dipandang sebelah mata oleh negara maupun birokrasi.
Jika kita kembali pada sejarah, pendirian PGRI 25 November 1945 di Solo, sebetulnya merupakan penggabungan dari organisasi-organisasi guru yang ada saat itu. Dengan melihat perjuangan guru yang amat besar ke depan, organisasi-organisasi itu sepakat meleburkan diri jadi PGRI, agar langkah organisasi guru lebih terkoordinasi dan efektif. Latar belakang inilah yang mestinya dilihat secara jernih dan cerdas. Jika pun selama rejim orde baru PGRI dikooptasi negara, pertanyaannya – adakah organisasi resmi saat itu yang terlepas dari kooptasi rejim? Ini bukan pembelaan, tapi fakta. Bahkan media massa pun saat itu tak berkutik karena dijerat peraturan dan undang-undang untuk mendukung rejim berkuasa.
Akhirnya, mengharapkan bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya membawa kita berjalan menelusuri lorong panjang sejarah yang menempatkan “pendidikan” sebagai kunci perubahan. Masa depan Indonesia akan dipertaruhkan dari bagaimana menyiapkan anak-anak bangsa dengan pendidikan yang bermutu, berakhlak, dan dapat dijangkau di mana saja anak berada, sehingga pada saatnya dapat melahirkan anak-anak Indonesia yang cerdas, berbudaya, berakhlak, pembelajar, kompetitif dan gemar dengan kualitas. Dengan demikian, melahirkan guru yang profesional, bermartabat dan sejahtera merupakan proses tali temali antara LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan), pemerintah, organisasi profesi, dan masyarakat. Dan itulah yang kini tengah diperjuangkan PGRI. Andai saja PGRI solid dan besar, maka perjuangan tersebut akan lebih efektif dan berdaya guna. Tapi jika organisasi guru pecah, kita pun ingat peribahasa: bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh!
Unifah Rosyidi, Ketua PB PGRI, Dosen UNJ.

KODE ETIK GURU INDONESIA

Kode Etik Guru

1.      Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila.
2.      Guru memiliki kejujuran profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing-masing.
3.      Guru mengadakan komunikasi terutama dalam memperoleh informasi tentang anak didik, tetapi menghindari diri dari segala bentuk penyalahgunaan.
4.      Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua murid sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik.
5.      Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan.
6.      Guru secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya.
7.      Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru baik berdasarkan lingkungan kerja maupun di dalam hubungan keseluruhan.
8.      Guru secara bersama-sama memelihara, membina dan meningkatkan mutu organisasi guru profesional sebagai sarana pengabdiannya.
9.      Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.


DIREKTORAT JENDRAL PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL 
Bekerjasama dengan
PENGURUS BESAR PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA (PB PGRI)
TAHUN 2008

PEMBUKAAN

Dengan rahmat Tuhan yang Maha Esa guru Indonesia menyadari bahwa jabatan guru adalah suatu profesi yang terhormat dan mulia. Guru mengabdikan diri dan berbakti untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia indonesia yang bermain, bertakwa dan berakhlak mulia serta mengusai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil,makmur, dan beradap.
Guru Indonesia selalu tampil secara profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan. Melatih menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru Indonesia memiliki kehandalan yang tinggi sebagai sumber daya utama untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Guru indonesia adalah insan yang layak ditiru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya oleh peserta didik yang dalam melaksanakan tugas berpegang teguh pada prinsip “ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”. Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip tersebut guru indonesia ketika menjalankan tugas-tugas profesional sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Guru indonesia bertanggung jawab mengatarkan siswanya untuk mencapai kedewasaan sebagai calon pemimpin bangsa pada semua bidang kehidupan. Untuk itu, pihak-pihak yang berkepentingan selayaknya tidak mengabaikan peranan guru dan profesinya, agar bangsa dan negara dapat tumbuh sejajar dengan bangsa lain di negara maju, baik pada masa sekarang maupun masa yang akan datang. Kondisi seperti itu bisa mengisyaratkan bahwa guru dan profesinya merupakan komponen kehidupan yang dibutuhkan oleh bangsa dan negara ini sepanjang zaman. Hanya dengan tugas pelaksanaan tugas guru secara profesional hal itu dapat diwujudkan eksitensi bangsa dan negara yang bermakna, terhormat dan dihormati dalam pergaulan antar bangsa-bangsa di dunia ini.
Peranan guru semakin penting dalam era global. Hanya melalui bimbingan guru yang profesional, setiap siswa dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, kompetetif dan produktif sebagai aset nasional dalam menghadapi persaingan yang makin ketat dan berat sekarang dan dimasa datang.
Dalam melaksanakan tugas profesinya guru indonesia menyadari sepenuhnya bahwa perlu ditetapkan Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman bersikap dan berperilaku yang mengejewantah dalam bentuk nilai-nilai moral dan etika dalam jabatan guru sebagai pendidik putera-puteri bangsa.

Bagian Satu
Pengertian, tujuan, dan Fungsi
Pasal 1
(1) Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia. Sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota maasyarakat dan warga negara.
(2) Pedoman sikap dan perilaku sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah nilai-nilai moral yang membedakan perilaku guru yang baik dan buruk, yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan selama menunaikan tugas-tugas profesionalnya untuk mendidik, mengajar,membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, serta sikap pergaulan sehari-hari di dalam dan luar sekolah.

Pasal 2
(1) Kode Etik Guru Indonesia merupakan pedoman sikap dan perilaku bertujuan menempatkan guru sebagai profesi terhormat, mulia, dan bermartabat yang dilindungi undang-undang.
(2) Kode Etik Guru Indonesia berfungsi sebagai seperangkat prinsip dan norma moral yang melandasi pelaksanaan tugas dan layanan profesional guru dalam hubungannya dengan peserta didik, orangtua/wali siswa, sekolah dan rekan seprofesi, organisasi profesi, dan pemerintah sesuai dengan nilai-nilai agama, pendidikan, sosial, etika dan kemanusiaan.

Bagian Dua
Sumpah/Janji Guru Indonesia
Pasal 3
(1) Setiap guru mengucapkan sumpah/janji guru Indonesia sebagai wujud pemahaman, penerimaan, penghormatan, dan kesediaan untuk mematuhi nilai-nilai moral yang termuat di dalam Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman bersikap dan berperilaku, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
(2) Sumpah/janji guru Indonesia diucapkan di hadapan pengurus organisasi profesi guru dan pejabat yang berwenang di wilayah kerja masing-masing.
(3) Setiap pengambilan sumpah/janji guru Indonesia dihadiri oleh penyelenggara satuan pendidikan.
Pasal 4
(1) Naskah sumpah/janji guru Indonesia dilampirkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Kode Etik Guru Indonesia.
(2) Pengambilan sumpah/janji guru Indonesia dapat dilaksanakan secara perorangan atau kelompok sebelumnya melaksanakan tugas.

Bagian Tiga
Nilai-nilai Dasar dan Nilai-nilai Operasional
Pasal 5
Kode Etik Guru Indonesia bersumber dari :
(1) Nilai-nilai agama dan Pancasila
(2) Nilai-nilai kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
(3) Nilai-nilai jati diri, harkat dan martabat manusia yang meliputi perkembangan kesehatan jasmaniah, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual,
Pasal 6
(1) Hubungan Guru dengan Peserta Didik:
a. Guru berperilaku secara profesional dalam melaksanakan tuga didik, mengajar, membimbing, mengarahkan,melatih,menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran.
b. Guru membimbing peserta didik untuk memahami, menghayati dan mengamalkan hak-hak dan kewajiban sebagai individu, warga sekolah, dan anggota masyarakat
c. Guru mengetahui bahwa setiap peserta didik memiliki karakteristik secara individual dan masing-masingnya berhak atas layanan pembelajaran.
d. Guru menghimpun informasi tentang peserta didik dan menggunakannya untuk kepentingan proses kependidikan.
e. Guru secara perseorangan atau bersama-sama secara terus-menerus berusaha menciptakan, memelihara, dan mengembangkan suasana sekolah yang menyenangkan sebagai lingkungan belajar yang efektif dan efisien bagi peserta didik.
f. Guru menjalin hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan.
g. Guru berusaha secara manusiawi untuk mencegah setiap gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangan negatif bagi peserta didik.
h. Guru secara langsung mencurahkan usaha-usaha profesionalnya untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan keseluruhan kepribadiannya, termasuk kemampuannya untuk berkarya.
i. Guru menjunjung tinggi harga diri, integritas, dan tidak sekali-kali merendahkan martabat peserta didiknya.
j. Guru bertindak dan memandang semua tindakan peserta didiknya secara adil.
k. Guru berperilaku taat asas kepada hukum dan menjunjung tinggi kebutuhan dan hak-hak peserta didiknya.
l. Guru terpanggil hati nurani dan moralnya untuk secara tekun dan penuh perhatian bagi pertumbuhan dan perkembangan peserta didiknya.
m. Guru membuat usaha-usaha yang rasional untuk melindungi peserta didiknya dari kondisi-kondisi yang menghambat proses belajar, menimbulkan gangguan kesehatan, dan keamanan.
n. Guru tidak boleh membuka rahasia pribadi serta didiknya untuk alasan-alasan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan pendidikan, hukum, kesehatan, dan kemanusiaan.
o. Guru tidak boleh menggunakan hubungan dan tindakan profesionallnya kepada peserta didik dengan cara-cara yang melanggar norma sosial, kebudayaan, moral, dan agama.
p. Guru tidak boleh menggunakan hubungan dan tindakan profesional dengan peserta didiknya untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.
(2) Hubungan Guru dengan Orangtua/wali Siswa :
  1. Guru berusaha membina hubungan kerjasama yang efektif dan efisien dengan Orangtua/Wali siswa dalam melaksannakan proses pedidikan.
  2. Guru mrmberikan informasi kepada Orangtua/wali secara jujur dan objektif mengenai perkembangan peserta didik.
  3. Guru merahasiakan informasi setiap peserta didik kepada orang lain yang bukan orangtua/walinya.
  4. Guru memotivasi orangtua/wali siswa untuk beradaptasi dan berpatisipasi dalam memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan.
  5. Guru berkomunikasi secara baik dengan orangtua/wali siswa mengenai kondisi dan kemajuan peserta didik dan proses kependidikan pada umumnya.
  6. Guru menjunjunng tinggi hak orangtua/wali siswa untuk berkonsultasin dengannya berkaitan dengan kesejahteraan kemajuan, dan cita-cita anak atau anak-anak akan pendidikan.
  7. Guru tidak boleh melakukan hubungan dan tindakan profesional dengan orangtua/wali siswa untuk memperoleh keuntungna-keuntungan pribadi.
(3) Hubungan Guru dengan Masyarakat :
  1. Guru menjalin komunikasi dan kerjasama yang harmonis, efektif dan efisien dengan masyarakat untuk memajukan dan mengembangkan pendidikan.
  2. Guru mengakomodasikan aspirasi masyarakat dalam mengembnagkan dan meningkatkan kualitas pendidikan dan pembelajaran.
  3. Guru peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat
  4. Guru berkerjasama secara arif dengan masyarakat untuk meningkatkan prestise dan martabat profesinya.
  5. Guru melakukan semua usaha untuk secara bersama-sama dengan masyarakat berperan aktif dalam pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan peserta didiknya
  6. Guru memberikan pandangan profesional, menjunjung tinggi nilai-nilai agama, hukum, moral, dan kemanusiaan dalam berhubungan dengan masyarakat.
  7. Guru tidak boleh membocorkan rahasia sejawat dan peserta didiknya kepada masyarakat.
  8. Guru tidak boleh menampilkan diri secara ekslusif dalam kehidupam masyarakat.
(4) Hubungan Guru dengan seklolah
  1. Guru memelihara dan eningkatkan kinerja, prestasi, dan reputasi sekolah.
  2. Guru memotivasi diri dan rekan sejawat secara aktif dan kreatif dalam melaksanakan proses pendidikan.
  3. Guru menciptakan melaksanakan proses yang kondusif.
  4. Guru menciptakan suasana kekeluargaan di dalam dan luar sekolah.
  5. Guru menghormati rekan sejawat.
  6. Guru saling membimbing antarsesama rekan sejawat
  7. Guru menjunung tinggi martabat profesionalisme dan hubungan kesejawatan dengan standar dan kearifan profesional.
  8. Guru dengan berbagai cara harus membantu rekan-rekan juniornya untuk tumbuh secara profsional dan memilih jenis pelatihan yang relevan dengan tuntutan profesionalitasnya.
  9. Guru menerima otoritas kolega seniornya untuk mengekspresikan pendapat-pendapat profesionalberkaitan dengan tugas-tugas pendidikan dan pembelajaran
  10. Guru membasiskan diri pada nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan dalam setiap tindakan profesional dengan sejawat.
  11. Guru memliki beban moral untuk bersama-sama dengan sejawat meningkatkan keefektifan pribadi sebagai guru dalam menjalankan tugas-tugas profesional pendidikan dan pembelajaran.
  12. Guru mengoreksi tindakan-tindakan sejawat yang menyimpang dari kaidah-kaidah agama, moral, kemanusiaan, dan martabat profesionalnya.
  13. Guru tidak boleh mengeluarkan pernyataan-pernyaan keliru berkaitan dengan kualifikasi dan kompetensi sejawat atau calon sejawat.
  14. Guru tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang akan merendahkan martabat pribadi dan profesional sejawatnya
  15. Guru tidak boleh mengoreksi tindakan-tindakan profesional sejawatnya atas dasar pendapat siswa atau masyarakat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarnya.
  16. Guru tidak boleh membuka rahasia pribadi sejawat kecuali untuk pertimbangan-pertimbangan yang dapat dilegalkan secara hukum.
  17. Guru tidak boleh menciptakan kondisi atau bertindak yang langsung atau tidak langsung akan memunculkan konflik dengan sejawat.
(5) Hubungan Guru dengan Profesi :
  1. Guru menjunjung tinggi jabatan guru sebagai sebuah profesi
  2. Guru berusaha mengembangkan dan memajukan disiplin ilmu pendidikan dan bidang studi yang diajarkan
  3. Guru terus menerus meningkatkan kompetensinya
  4. Guru menjunjung tinggi tindakan dan pertimbangan pribadi dalam menjalankan tugas-tugas profesionalnya dan bertanggungjawab atas konsekuensiinya.
  5. Guru menerima tugas-tugas sebagai suatu bentuk tanggungjawab, inisiatif individual, dan integritas dalam tindkan-tindakan profesional lainnya.
  6. Guru tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang akan merendahkan martabat profesionalnya.
  7. Guru tidak boleh menerima janji, pemberian dan pujian yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan-tindakan proesionalnya
  8. Guru tidak boleh mengeluarkan pendapat dengan maksud menghindari tugas-tugas dan tanggungjawab yang muncul akibat kebijakan baru di bidang pendidikan dan pembelajaran.
(6) Hubungan guru dengan Organisasi Profesinya :
a. Guru menjadi anggota aorganisasi profesi guru dan berperan serta secara aktif dalam melaksanakan program-program organisasi bagi kepentingan kependidikan.
b. Guru memantapkan dan memajukan organisasi profesi guru yang memberikan manfaat bagi kepentingan kependidikan
c. Guru aktif mengembangkan organisasi profesi guru agar menjadi pusat informasi dan komunikasi pendidikan untuk kepentingan guru dan masyarakat.
d. Guru menjunjung tinggi tindakan dan pertimbangan pribadi dalam menjalankan tugas-tugas organisasi profesi dan bertanggungjawab atas konsekuensinya.
e. Guru menerima tugas-tugas organisasi profesi sebagai suatu bentuk tanggungjawab, inisiatif individual, dan integritas dalam tindakan-tindakan profesional lainnya.
f. Guru tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang dapat merendahkan martabat dan eksistensis organisasi profesinya.
g. Guru tidak boleh mengeluarkan pendapat dan bersaksi palsu untuk memperoleh keuntungan pribadi dari organisasi profesinya.
h. Guru tidak boleh menyatakan keluar dari keanggotaan sebagai organisasi profesi tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
(7) Hubungan Guru dengan Pemerintah :
a) Guru memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan program pembangunan bidang pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945, UU Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Tentang Guru dan Dosen, dan ketentuan Perundang-Undang lainnya.
b) Guru membantu Program pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan berbudaya.
c) Guru berusaha menciptakan, memeliharadan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan pancasila dan UUD1945.
d) Guru tidak boleh menghindari kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah atau satuan pendidikan untuk kemajuan pendidikan dan pembelajaran.
e) Guru tidak boleh melakukan tindakan pribadi atau kedinasan yang berakibat pada kerugian negara.
Bagian Empat
Pelaksanaan , Pelanggaran, dan sanksi
Pasal 7
(1) Guru dan organisasi profesi guru bertanggungjawab atas pelaksanaan Kude Etik Guru Indonesia.
(2) Guru dan organisasi guru berkewajiban mensosialisasikan Kode Etik Guru Indonesia kepada rekan sejawat Penyelenggara pendidikan, masyarakat dan pemerintah.
Pasal 8
(1) Pelanggaran adalah perilaku menyimpang dan atau tidak melaksanakan Kode Etik Guru Indonesia dan ketentuan perundangan yang berlaku yang berkaitan dengan protes guru.
(2) Guru yang melanggar Kode Etik Guru Indonesia dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
(3) Jenis pelanggaran meliputi pelanggaran ringan sedang dan berat.

Pasal 9
(1) Pemberian rekomendasi sanksi terhadap guru yang melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia merupakan wewenang Dewan Kehormatan Guru Indonesia.
(2) Pemberian sanksi oleh Dewan Kehormatan Guru Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus objektif
(3) Rekomendasi Dewan Kehormatan Guru Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh organisasi profesi guru.
(4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan upaya pembinaan kepada guru yang melakukan pelanggaran dan untuk menjaga harkat dan martabat profesi guru.
(5) Siapapun yang mengetahui telah terjadi pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia wajib melapor kepada Dewan Kehormatan Guru Indonesia, organisasi profesi guru, atau pejabat yang berwenang.
(6) Setiap pelanggaran dapat melakukan pembelaan diri dengan/atau tanpa bantuan organisasi profesi guru dan/atau penasehat hukum sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan dihadapan Dewan Kehormatan Guru Indonesia.

Bagian Lima
Ketentuan Tambahan
Pasal 10
Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib mematuhi Kode Etik Guru Indonesia dan peraturan perundang-undangan.

Bagian Enam
Penutup
Pasal 11
(1) Setiap guru secara sungguh-sungguh menghayati,mengamalkan serta menjunjung tinggi Kode Etik Guru Indonesia.
(2) Guru yang belum menjadi anggota organisasi profesi guru harus memilih organisasi profesi guru yang pembentukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Dewan Kehormatan Guru Indonesia menetapkan sanksi kepada guru yang telah secara nyata melanggar Kode Etik Guru Indonesia.